Analisis Konstruksi Sosial TikTok Terhadap Standar Kecantikan Wanita

Analisis Konstruksi Sosial TikTok Terhadap Standar Kecantikan Wanita

Mar 10, 2025

Sebagai pejantan, tidak bohong dan saya mengakui saya menikmati momen-momen ketika FYP saya dipenuhi dengan wanita-wanita berparas elok. Dulu!

Lemme say it again, it used to be like that!

Dewasa ini, kalau ada video wanita yang lewat sekadar menjual kecantikan dan bodinya saja, saya akan langsung skip.

And you know what makes it more interesting? Itu beberapa kali terjadi di luar kontrol otak saya sendiri. Dalam artian lain, saya spontan saja langsung scroll.

Lama kelamaan saya mulai berpikir, apa ini karena saya mulai lemah syahwat? Yang membuat saya tidak ada ketertarikan atau nafsu sedikit pun di antara wanita-wanita itu?

OH TIDAK. Saya masih gagah perkasa.

Bukan karena saya yang lemah syahwat, tapi saya semakin sadar, dengan banyaknya asupan jumlah wanita cantik dan bohay yang pernah saya lihat di TikTok, semakin membuat saya berpikir, oh ternyata hal semacam itu normal.

Untuk membuktikan hal ini, coba saya tanya, siapa tiktoker tercantik saat ini? Jawabannya bukan tidak ada, tapi kita terlalu bingung mau milih siapa. Saking kebanyakannya!

Ketika sesuatu sering terjadi atau sering dialami oleh manusia, biasanya akan terjadi dua kemungkinan:

  1. Mereka akan mengalami perubahan kehendak atau yang kita sebut selera.

  2. Mereka mulai menormalisasikan dan menerima hal itu sebagai sesuatu yang nyata. Tahapan objektivikasi dalam teori Social Construction of Reality oleh Berger & Luckmann.

Di TikTok, ini terjadi secara masif. Standar kecantikan terus direplikasi oleh algoritma. Kita disuguhi wajah-wajah serupa, dengan filter yang sama, angle yang sama, bahkan gaya makeup yang hampir identik. Semua terlihat ‘cantik’, sehingga muncul dibenak saya berpikir, “Oh cantik itu template”.

Terlebih lagi, saya merasa TikTok memang sedikit lebih berpihak ke Wanita. TikTok punya aturan ketat soal konten yang berisi kekerasan atau pornografi, Katanya.

Well pada praktik lapangan, nyatanya tiktok justru lebih kejam dengan konten-konten darah yang jelas itu adalah gambar darah dari video game 16bit. Kamu tahu seberapa realistisnya game 16bit? Darahnya itu kotak-kotak pak ya allah (kaya perut saya :D)

Sementara itu giliran Wanita yang pamer tet*k dan hamper telanjang  malah tetap bertahan.

Jadi, balik lagi ke pertanyaan awal: apakah tiktok memberikan andil besar dalam perubahan standar kecantikan yang ada?

Entah saya sendiri yang merasakan pengaruh dari TikTok ini, atau bukan. Yang jelas ini memicu tahapan internalisasi dalam jiwa saya yang berprasangka bahwa standar kecantikan bukan lagi dilihat dari seberapa putih dan beningnya wanita tersebut, melainkan dari bagaimana mereka cukup pintar untuk mampu berpikir.

Tri Utomo

Copyright 2025